Seiring dengan pesatnya perkembangan startup di Indonesia, kita telah mencapai titik di mana masyarakat yang sebelumnya dianggap awam semakin paham dan akrab dengan berbagai hal yang sebelumnya hanya diketahui oleh kalangan penggiat teknologi.
Fenomena ini dipicu oleh beberapa faktor, mulai dari harga smartphone yang semakin terjangkau, munculnya berbagai startup digital, hingga peralihan generasi penguasa pasar. Generasi Y mulai digantikan oleh generasi millennial, dan sekarang millennial pun mulai menghadapi tantangan serupa dari generasi Z.
Akibatnya, pengguna kini menjadi semakin kritis dan selektif dalam memilih aplikasi yang mereka gunakan. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi para pengembang yang harus lebih peka terhadap kebutuhan serta keinginan pengguna untuk bisa memenangkan hati mereka.
Menyeimbangkan Opini Pengguna, Bisnis, dan Perancang Produk
Setiap produk digital pada dasarnya dibangun dengan mempertimbangkan tiga opini utama:
- Opini Bisnis, yaitu tentang seberapa menguntungkan produk tersebut
- Opini Teknis, yaitu tentang apakah produk tersebut memungkinkan untuk dibuat
- Dan Opini Pengguna, yaitu tentang seberapa menarik produk tersebut bagi mereka
Namun, seringkali dalam hiruk-pikuk proses perancangan dan pengembangan produk, dengan berbagai alasan seperti deadline dan efisiensi, opini pengguna justru seringkali terlupakan atau terabaikan. Banyak pengembang yang berasumsi bahwa produk mereka sudah pasti sesuai dengan kebutuhan dan harapan pengguna, meskipun kenyataannya bisa jadi tidak demikian.
Penting untuk diingat bahwa pemilik produk, pengembang, dan perancang tidak selalu memiliki perspektif yang sama dengan orang yang akan menggunakan produk tersebut setiap hari. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa "Validasi dengan Pengguna Sejati" merupakan langkah krusial.
Secara keseluruhan, proses perancangan produk dapat dirangkum dalam istilah S.A.L.T yang mewakili langkah-langkah:
- S - Search and Research
- A - Assisted Prototyping
- L - Learning from Audience
- T - Tech Feasibility
Search and Research: Apa yang Dibutuhkan, dan Siapa yang Akan Menggunakannya?
Pada tahap awal pembuatan sebuah produk digital, dua pertanyaan yang paling sering ditanyakan adalah:
- Produk seperti apa yang ingin kita buat?
- Siapa yang akan menggunakannya?
Jika proses pembuatan produk digital tidak melibatkan pengguna asli sama sekali, maka risiko kegagalan akan semakin besar saat produk diluncurkan ke pasar. Sebagus apapun produk tersebut, jika tidak sesuai dengan kebutuhan dan keinginan pengguna, maka produk itu pada akhirnya tidak akan diterima.
Produk yang sudah dibuat dengan susah payah, meskipun diunduh banyak orang, bisa saja hanya terabaikan dan tidak digunakan. Bahkan, ada kemungkinan besar produk tersebut tidak diunduh sama sekali.
Dalam situasi seperti ini, biaya tambahan untuk melakukan iterasi dan perubahan akan menjadi semakin besar, dan pada akhirnya hanya akan menambah biaya sunk cost yang sudah terlanjur dikeluarkan ketika produk pertama kali diluncurkan.
Oleh karena itu, pebisnis dan perancang produk harus menghindari sikap egois dan asumtif terkait kebutuhan pengguna. Melibatkan pengguna asli untuk terlibat sejak awal sesuai dengan kebutuhan dan konteks produk adalah langkah yang sangat penting dalam proses perancangan dan pengembangan produk.
Dalam proses ini, pengguna akan dapat menyampaikan kebutuhan mereka, berbagi harapan terkait produk yang sedang dikembangkan, serta memberikan umpan balik mengenai apa yang tidak sesuai dengan ekspektasi mereka ketika mencoba produk tersebut.
Proses ini, yang dikenal dengan sebutan User Validation (Validasi Pengguna), menjadi bagian krusial dalam memastikan produk benar-benar sesuai dengan yang diinginkan pasar.
Merancang Persona Pengguna (User Persona)
Langkah pertama yang perlu dilakukan saat melibatkan pengguna dalam proses perancangan adalah memastikan bahwa orang yang kita undang untuk berpartisipasi benar-benar merupakan calon pengguna ideal untuk produk tersebut.
Sebagai contoh, kita tentu tidak bisa melibatkan orang yang usianya di bawah 18 tahun jika produk kita ditujukan untuk pengguna yang berusia 18 tahun ke atas. Contoh lainnya, jika kita mengembangkan produk untuk digunakan oleh karyawan suatu kantor, namun melakukan validasi dengan karyawan dari kantor lain, hasilnya bisa jadi tidak relevan.
Pada tahap awal perancangan, pengguna ideal biasanya sudah ditentukan. Proses ini dimulai dengan mewawancarai para pemilik bisnis atau pencetus produk serta melakukan riset awal mengenai profil pengguna secara umum, meskipun masih dalam bentuk asumsi yang luas.
Setelah itu, melalui analisis dan rangkuman, kita bisa menarik kesamaan atau irisan yang dapat membentuk karakter pengguna yang lebih jelas. Karakter ini kita sebut sebagai "Persona", dan kesamaan-kesamaan yang ditemukan selama proses ini disebut sebagai "Traits (Ciri)".
Persona ini kemudian dilengkapi dengan latar belakang singkat, serta tujuan mengapa persona tersebut perlu menggunakan produk ini, dan harapan-harapan mereka terhadap produk tersebut.
Contoh Rancangan Persona Pengguna
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, berikut kami tampilkan contoh sederhana dari rancangan Persona Pengguna:
Contoh Persona Card
Umumnya, sebuah produk digital bisa memiliki lebih dari satu persona pengguna, terutama jika produk tersebut memiliki berbagai fitur atau menyasar segmen pasar yang beragam.
Namun, penting untuk dicatat bahwa pembuatan beberapa persona harus dilakukan dengan hati-hati. Persona yang berbeda sebaiknya tidak memiliki terlalu banyak kesamaan, karena jika ada ciri-ciri yang tumpang tindih, lebih baik menggabungkannya dalam satu persona saja.
Contoh Variasi Persona Pengguna dalam Satu Produk
Pentingnya Berbicara dengan Pengguna Asli (Real User)
Persona pengguna sangat membantu dalam proses perancangan produk. Dengan mendalami tujuan dan kesulitan dari masing-masing persona, perancang produk dapat merumuskan konsep yang lebih jelas dan konkret untuk prototype.
Namun, prototype ini tetap bersifat asumtif karena persona adalah karakter fiktif yang tidak dapat memberikan jawaban pasti untuk mengonfirmasi berbagai asumsi. Inilah alasan mengapa perancang perlu melibatkan calon pengguna asli.
Menggunakan persona sebagai acuan, kita dapat mencari individu yang memiliki ciri-ciri mirip atau sesuai dengan persona tersebut. Dalam proses perancangan, individu yang memiliki karakteristik serupa ini biasa disebut sebagai Narasumber. Karena sulit untuk menemukan orang yang sepenuhnya mencerminkan satu persona, jumlah narasumber biasanya lebih dari satu orang per persona.
Untuk Validasi Kualitatif, biasanya diambil 2-5 orang narasumber per persona. Sedangkan untuk Validasi Kuantitatif, jumlah narasumber bisa mencapai ratusan atau bahkan ribuan orang per persona, tergantung pada banyaknya data yang perlu dianalisis.
Dengan berbicara langsung kepada pengguna asli, perancang bisa mendapatkan wawasan yang lebih akurat dan mengurangi asumsi yang sebelumnya dibuat. Hal-hal yang tadinya hanya berdasarkan perkiraan dapat disesuaikan berdasarkan masukan langsung dari narasumber. Perubahan inilah yang sering disebut sebagai "Iterasi" dalam proses pengembangan produk.
Tantangan dalam Menggali Informasi dari Pengguna Asli
Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan saat berbicara dengan pengguna asli. Salah satunya adalah kemungkinan peserta tes tidak bertindak sesuai dengan apa yang mereka katakan.
Kami di SALT sering menemukan pengguna yang terlihat kesulitan dalam menyelesaikan tugas tertentu, namun mengklaim tidak mengalami kesulitan sama sekali.
Jika terjadi ketidaksesuaian seperti ini, penguji harus jeli dan siap untuk “menggali” lebih dalam. Oleh karena itu, tim pengujian perlu memiliki keterampilan wawancara yang baik.
Kami sering mendapati bahwa pengguna cenderung mengungkapkan hal-hal positif saja, karena mereka ingin dianggap “baik”. Padahal, hasil uji kegunaan yang tidak memuaskan tidak bisa langsung disalahkan pada peserta atau pengguna.
Ini adalah indikasi bahwa desain produk tersebut belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan mereka. Pemahaman ini perlu ditanamkan kepada pengguna selama proses pengujian.
Proses Validasi Produk Digital
Dalam proses perancangan produk digital, biasanya terdapat tiga tahapan utama prototype:
- Low-fidelity (Lo-fi)
- Medium-fidelity (Med-fi)
- High-fidelity (Hi-fi)
A. Low-fidelity (Lo-fi)
Proses validasi dengan pengguna asli bisa dimulai dengan Prototype Berfidelitas Rendah (Low-fi), yang umumnya masih berupa sketsa atau wireframe kasar.
Prototype ini digunakan untuk menggambarkan alur produk secara garis besar, di mana pengguna diminta untuk menyelesaikan serangkaian tugas dengan prototype yang belum memiliki elemen visual yang jelas.
Tujuan utama dari tahap ini adalah agar masukan yang diberikan fokus pada alur produk dan tidak terpengaruh oleh elemen visual. Dengan menguji pada tahap lo-fi, perancang dapat memastikan bahwa alur produk sudah tepat dan tidak perlu diperbaiki lagi saat beralih ke tahapan medium fidelity.
Prototype lo-fi banyak digunakan karena mudah dan cepat untuk dibuat, serta efektif dalam merancang dan menyempurnakan alur produk. Sebaliknya, perubahan pada alur produk pada fase med-fi akan memakan lebih banyak waktu karena elemen yang digunakan sudah lebih kompleks dan lebih mendekati bentuk final.
Contoh Gambar Prototype Low-fi (Sumber: Miro)
B. Medium-fidelity (Med-fi)
Berbeda dengan prototype lo-fi yang masih berupa sketsa kasar, Prototype Berfidelitas Sedang (Med-fi) sudah lebih mendekati bentuk yang lebih pasti dan proporsional.
Pada tahap ini, jumlah karakter dalam kata, kalimat, dan paragraf sudah tergambar seperti yang akan terlihat nantinya, meskipun prototype med-fi belum menggunakan warna.
Prototype med-fi digunakan untuk menguji kesesuaian porsi informasi serta kenyamanan dalam bernavigasi. Tujuan utamanya adalah untuk memastikan bahwa struktur dan alur informasi sudah tepat sebelum melanjutkan ke tahap yang lebih detail.
Contoh 1 Gambar Prototype Med-fi
Contoh 2 Gambar Prototype Med-fi
C. High-fidelity (Hi-fi)
Pada tahap selanjutnya, prototype diberi warna dan elemen visual lainnya, menyerupai produk yang sudah jadi. Inilah yang disebut dengan Prototype Berfidelitas Tinggi (Hi-fi). Tahap ini digunakan untuk memvalidasi pengalaman pengguna secara keseluruhan dengan tampilan yang sangat mendekati produk akhir.
Di tahap ini, masukan dari pengguna akan lebih fokus pada aspek visual produk, mulai dari warna, tipografi, hingga animasi dan transisi.
Tujuan dari tahap ini adalah untuk memastikan bahwa setiap elemen visual tidak hanya berfungsi dengan baik, tetapi juga memberikan pengalaman pengguna yang optimal.
Contoh Gambar Prototype Hi-fi
Proses Uji Kegunaan Produk Digital
Proses Uji Kegunaan (Usability Testing atau UT) dapat dilakukan beberapa kali di setiap tahapan, tergantung pada kebutuhan produk dan tujuan pengujian.
Biasanya, uji kegunaan dimulai dengan merancang skenario yang akan diuji kepada pengguna. Skenario ini umumnya berupa serangkaian tugas yang harus dijalankan oleh para narasumber.
Tugas yang diberikan bisa sesederhana "Lakukan pendaftaran pada aplikasi A" atau bisa juga lebih kompleks dan rinci, seperti "Beli barang Z sebanyak 2 buah, pilih metode pengiriman menggunakan kurir Y, kemudian lakukan pembayaran dengan kartu kredit bank X pada alamat xxx."
Dalam setiap tugas, penguji akan mengukur waktu penyelesaian dan juga memantau gerakan tubuh serta ekspresi wajah narasumber. Biasanya, sebelum dan setelah uji kegunaan, narasumber akan diwawancarai untuk menggali kesulitan yang mereka hadapi dan untuk mengevaluasi sejauh mana prototype yang diuji sesuai dengan ekspektasi mereka.
Contoh Proses Uji Kegunaan Produk (Usability Test)
Uji kegunaan dapat dilakukan dalam dua format, yaitu Attended dan Unattended:
- Attended Usability Test
Artinya peserta uji didampingi langsung oleh penguji. Sesi uji ini bisa dilakukan tatap muka atau secara daring menggunakan aplikasi panggilan video, di mana penguji dapat melihat layar peserta dan mengamati ekspresi mereka selama pengujian berlangsung. - Unattended Usability Test
Menggunakan aplikasi pihak ketiga untuk membagikan prototype kepada narasumber. Narasumber dapat mengakses tautan yang diberikan oleh penguji dalam periode waktu yang ditentukan dan melaksanakan tugas uji secara mandiri. Biasanya, narasumber akan diberikan imbalan sebagai apresiasi atas partisipasi mereka.
Selain proses uji kegunaan utama, perancang produk juga dapat melakukan validasi kecil-kecilan terhadap narasumber. Validasi ini bisa berupa wawancara singkat, jajak pendapat, atau kuesioner untuk mendapatkan umpan balik tambahan.
Untuk produk yang lebih kompleks dan melibatkan banyak pihak, bisa juga dilakukan workshop atau Focus Group Discussion (FGD) yang melibatkan perancang, calon pengguna, serta pemilik produk atau bisnis.
Bekerja dengan Produk yang Iteratif
Produk yang telah melalui proses validasi memiliki peluang jauh lebih besar untuk diterima oleh pasar. Memvalidasi produk sebelum diluncurkan jelas lebih efisien dari segi biaya dan waktu, karena dapat mengurangi risiko kesalahan besar yang mungkin terjadi setelah peluncuran.
Namun, apakah produk yang sudah divalidasi pasti akan diterima dan digunakan dengan baik oleh pengguna?
Jawabannya mungkin tidak selalu demikian. Hal ini karena cara berpikir dan kebutuhan pengguna terus berkembang, seiring dengan kemajuan teknologi dan perubahan zaman. Oleh karena itu, proses iterasi harus terus berlangsung, bahkan setelah produk diluncurkan.
Tidak ada produk yang sempurna. Setiap solusi yang ditawarkan harus bersifat berkelanjutan dan dapat berkembang. Itu sebabnya, produk digital selalu bersifat iteratif. Baik perancang maupun pebisnis harus memiliki pemikiran yang sama bahwa produk tidak pernah benar-benar selesai saat peluncuran pertama kali.
Produk perdana, atau yang sering disebut Minimum Viable Product (MVP), sebenarnya hanyalah titik awal. Seiring berjalannya waktu, dengan berkembangnya bisnis, produk akan mengalami pembaruan berupa penambahan fitur atau perubahan tampilan.
Dalam dunia produk digital, ini adalah hal yang wajar. Yang terpenting adalah bahwa setiap perubahan yang dilakukan harus memberikan dampak positif bagi pemangku kepentingan, baik itu pebisnis, pengguna, maupun perancang produk.
Itulah mengapa serangkaian "Proses Validasi Produk" sangat penting untuk dilakukan secara berkelanjutan.
Cerita SALT di Balik Proses Validasi Produk
Dalam praktiknya, selalu ada hal-hal yang tak terduga yang ditemukan selama proses validasi.
Selama lebih dari 11 tahun SALT membantu berbagai klien dalam melakukan validasi, kami telah menghadapi banyak kasus unik yang sering kali mengharuskan kami untuk kembali memeriksa permasalahan awal dan tujuan yang ingin dicapai.
Salah satu contoh menarik yang kami temui adalah ketika bekerja sama dengan produsen sebuah produk minuman.
Pemilik bisnis minuman ini memiliki ide untuk menawarkan layanan berlangganan minuman yang akan diantarkan ke rumah konsumen setiap beberapa hari sekali, berdasarkan kebiasaan yang ada di negara asal produk ini.
Namun, setelah dilakukan survei besar-besaran terhadap calon konsumen, kami menemukan bahwa minuman tersebut bukanlah pilihan yang biasa dikonsumsi konsumen sehari-hari, terutama karena harga yang lebih tinggi akibat kebutuhan untuk membeli paket langganan dalam jumlah tertentu.
Akibatnya, kami menyarankan untuk mengubah strategi, yaitu bukan menawarkan langganan kepada rumah tangga, melainkan kepada UKM yang menggunakan produk tersebut sebagai bahan baku untuk dijual kembali.
Temuan ini berdampak pada desain halaman pemesanan langganan. Tanpa adanya survei sebelumnya, produk pasti akan salah sasaran hingga tahap akhir, yang tentunya memaksa proses desain halaman pemesanan untuk diulang.
Kasus lainnya adalah ketika produk sudah terlanjur diluncurkan. Kami sering menemui situasi di mana redesign harus dilakukan karena kesalahan yang terjadi akibat kurangnya validasi sebelumnya.
Dalam kasus seperti ini, kami sering diminta untuk memperbaiki hasil kerja perancang sebelumnya yang sering kali sudah sulit dihubungi.
Dalam kasus-kasus semacam ini, sangat penting untuk menanamkan mindset yang sama pada pemilik produk, agar mereka siap untuk menghadapi segala "kejutan" yang mungkin muncul setelah melalui tahap-tahap validasi yang kami lakukan.
Tidak jarang, mereka harus siap untuk mengubah arah produk, mulai dari fitur, fungsi, sasaran pengguna, atau bahkan mengubah arah bisnis itu sendiri.
Langkah Awal Menuju Produk yang Sukses Bersama SALT
Proses validasi produk digital merupakan langkah awal yang penting untuk memastikan produk Anda sesuai dengan kebutuhan pengguna. Berbekal pengalaman lebih dari 1 dekade, SALT telah membantu banyak perusahaan mengembangkan produk yang tepat melalui proses validasi yang mendalam.
Apabila bisnis Anda siap untuk mengembangkan produk digital yang sukses, mulailah dengan melibatkan pengguna nyata sedari awal, di mana SALT hadir membantu Anda dalam melakukan validasi yang efektif dan efisien dalam mewujudkan produk yang sukses.